PPh pasal 26 Penjualan Saham Oleh WPLN


PPh Pasal 26 atas Penjualan Saham yang Dilakukan oleh Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN)

PPh Pasal 26 Keuntungan Penjualan Saham

Berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, kecuali penjualan harta yang telah diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh, yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
Berdasarkan ketentuan ini, pemotongan PPh Pasal 26 bisa dikenakan terhadap Wajib Pajak luar negeri selain BUT yang mendapatkan penghasilan dari penjualan harta di Indonesia. Tarif yang dikenakan adalah 20% dari perkiraan penghasilan neto. Besarnya perkiraan penghasilan neto sendiri diatur dalam ketentuan pelaksanaannya yaitu Keputusan Menteri Keuangan Nomor 434/KMK.04/2009 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Atas Penghasilan Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri Selain Bentuk Usaha Tetap Atas Penghasilan Berupa Keuntungan Dari Penjualan Saham, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2009 tentang Pemotongan Pajak  Penghasilan Pasal 26 Atas Penghasilan Dari Penjualan Atau  Pengalihan Harta Di Indonesia, Kecuali Yang Diatur Dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri Selain Bentuk Usaha Tetap Di Indonesia.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 434/KMK.04/2009 merupakan ketentuan pelaksanaan PPh Pasal 26 atas keuntungan penjualan saham Perseroan Indonesia, sedangkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2009 merupakan ketentuan pelaksanaan PPh Pasal 26  atas keuntungan penjualan dan pengalihan harta berupa perhiasan mewah, berlian, emas, intan, jam tangan mewah, barang antik, lukisan, mobil, motor, kapal pesiar, dan/atau pesawat terbang ringan. Tulisan ini mencoba untuk menjelaskan tentang PPh Pasal 26 atas keuntungan penjualan saham berdasarkan  Keputusan Menteri Keuangan Nomor 434/KMK.04/2009.

Perseroan
           Seperti sudah diuraikan di atas, Wajib Pajak luar negeri selain BUT, dikenakan PPh Pasal 26 bila menjual saham Perseroan Indonesia. Pengenaan PPh Pasal 26 ini nampaknya untuk menerapkan azas sumber dalam sistem perpajakan di Indonesia, sehingga penghasilan dari penjualan saham Perseroan di Indonesia akan dikenakan pajak di Indonesia.
            Pengertian Perseroan sendiri adalah Perseroan Terbatas Dalam Negeri yang sahamnya diperjualbelikan oleh pemegang saham Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) dan tidak berstatus sebagai Emiten atau Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Di luar definisi ini maka PPh Pasal 26 ini tidak bisa diterapkan. Misal WP luar negeri menjual saham PT ABC yang sudah listing di BEI, maka atas penjualan saham ini tidak dikenakan PPh Pasal 26, tapi tunduk kepada PPh Final Pasal 4 ayat (2) Penjualan Saham di Bursa Efek.

Tarif dan Dasar Pengenaan
          Tarif PPh Pasal 26 atas keuntungan penjualan saham Perseroan ini adalah 20% dengan dasar pengenaan pajaknya adalah perkiraan penghasilan neto. Besarnya perkiraan penghasilan neto adalah 25% dari harga jual. Dengan demikian, besarnya tarif efektif PPh Pasal 26 atas keuntungan penjualan saham ini adalah 5% dari harga jual dan bersifat final. Coba bandingkan dengan tarif PPh final penjualan saham di bursa efek yang tarifnya 0,1% dari nilai transaksi.
Terhadap WPLN berkedudukan di negara-negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran               Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia, maka pemotongan PPh Pasal 26 hanya dilakukan apabilan berdasarkan P3B yang berlaku, hak pemajakannya ada pada pihak Indonesia. Jika hak pemajakannya ada di negara mitra, PPh Pasal 26 ini tidak bisa diterapkan.

Pemotong Pajak
          Penghasilah dari penjualan saham di dalam negeri yang diperoleh atau diterima WPLN, dipotong pajak oleh pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong pajak dan kepadanya diberikan bukti pemotongan PPh Pasal 26. Perseroan hanya mencatat akta pemindahan hak atas saham yang dijual apabila kepadanya dibuktikan oleh WPLN bahwa PPh Pasal 26 yang terutang sebagaimana  telah dibayar lunas dengan menyerahkan fotokopi bukti pemotongan PPh Pasal 26 dengan menunjukkan aslinya.
Apabila pembelinya ternyata Wajib Pajak luar negeri juga, maka yang ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah Perseroan yang sahamnya diperjual belikan.

Tatacara Pemotongan,  Penyetoran dan Pelaporan
            Pembeli selaku pemotong pajak wajib memotong dan menyetorkan PPh Pasal 26 yang terutang selambat-lambatnya tanggal 10 (sepuluh) bulan takwin berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak di Bank Persepsi atau Kantor Pos, dan melaporkannya kepada Direktur Jenderal Pajak selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
Pelaksanaan pemungutan dan penyetoran pajak yang dilakukan oleh Perseroan dilakukan dengan menggunakan nama WPLN pemegang saham (penjual saham) selambat-lambatnya tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak di Bank Persepsi atau Kantor Pos, dan melaporkannya kepada Direktur Jenderal Pajak selambat- lambatnya 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.

PPh Pasal 26 Premi Asuransi

         Berdasarkan Pasal 26 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, atas premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri, dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto. Peraturan Pelaksanaan dari ketentuan ini adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 624/KMK.04/1994 Tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Atas Penghasilan Berupa Premi Asuransi Dan Premi Reasuransi Yang Dibayar Kepada Perusahaan Asuransi Di Luar Negeri.

Perkiraan Penghasilan Neto
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan ini, besarnya perkiraan penghasilan neto adalah sebagai berikut :
  1. 50% (lima puluh persen) dari jumlah premi yang dibayar atas premi dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang
  2. 10% (sepuluh persen) dari jumlah premi yang dibayar atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang
  3. 5% (lima persen) dari jumlah premi yang dibayar atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang
Tarif Efektif
Dengan demikian, bila kita mengalikan tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% terhadap perkiraan penghasilan neto, maka tarif efektifnya adalah sebagai berikut :
  1. 10% (sepuluh persen) dari jumlah premi yang dibayar atas premi dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang
  2. 2% (dua persen) dari jumlah premi yang dibayar atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang
  3. 1% (satu persen) dari jumlah premi yang dibayar atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang
Pemotong Pajak
Pemotong PPh Pasal 26 atas premi asuransi ini adalah :
  1. Tertanggung, atas premi yang dibayar kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang
  2. Perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia, atas premi yang dibayar kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang
  3. Perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia atas premi yang dibayar kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang
Tatacara Pemotongan dan Penyetoran
         Pajak Penghasilan Pasal 26 atas premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran premi atau pada akhir bulan terutangnya premi asuransi tersebut. Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 26 dilakukan oleh pemotong selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah saat terutangnya pajak dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).
Pemotong pajak wajib membuat Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26, dalam rangkap 3 (tiga) :
  1. Lembar 1, untuk pihak yang dipotong penghasilannya;
  2. Lembar 2, untuk dilampirkan pada Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan 26 yang disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong pajak terdaftar;
  3. Lembar 3, untuk arsip pemotong pajak.

DIRECTORATE GENERAL OF TAXES

Surat Keterangan Domisili
          Surat Keterangan Domisili (SKD) atau Certificate of Residance (COD) yang diterbitkan bagi Wajib Pajak Dalam Negeri )WPDN) yang menerangkakan bahwayang bersangkutan adalah Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) menurut UU PPh dalam rangka memperoleh manfaat P3B Indonesia dengan negara mitra. Negara lain yang merupakan sumber penghasilan akan mengenakan tariff sesuai P3B jika orang atau badan tesebut dapat menunjukkan SKD dari negara mitra P3B nya.

Penerbitan SKD
         SKD diterbitkan dan disahkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau melalui KPP Domisili berdasarkan permohonan WP. Yang dimaksud dengan KPP domisili adalah Kantor Pelayanan Pajak yang eilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau domisili WP orang pribadi terdaftar atau tempat kedudukan WP badan terdaftar.
KPP Domisili menerbitkan SKD dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah menerima permohonan WP secara lengkap. Formulir SKD yang diterbitkan adalah form DGT-7 sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II PER-35/PJ/2010 atau menggunakan formulir khusus yang digunakan oleh negara mitra P3B.

Bentuk Dan Kegunaan Form DGT ( The Directorate Geberak of Taxation)
         Form DGT adalah salah salah satu pertanda yang menyatakan bahwa adanya kesepakatan dalam pajak internasional diantaranya dalam rangka Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda P3B, masa berlaku form adalah 1 (satu) tahun. Adapun bentuk dan fungsi form tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Form DGT1
Form DGT1 dipergunakan untuk setiap WP yang bertindak sebagai pemotong pajak (umum), dimana lembar kesatuan yang berisikan pernyataan WPLN dan otorisasi pejabat yang berwewenang di luar negeri, dan lembar kedua yang berisi penyataan WPLN dan tanda tangan WPLN yang dapat dipakai untuk melaporkan penghasilan dalam periode 1 bulan (masa pajak) dengan dilampiri rincian penghasilan.
Penghasilan dari transaski obligasi yang diperlukan sebagai bunga/disknto sesuai PP no. 27 Tahun 2008 dan PP No.16 Tahun 2009. Atas penghasilan tersebut WPLN selain bank, menggunakan Form DGT1
Bentuk form:

2.      Form DGT2
Form DGT2 dipergunakan untuk setiap WP yang bertindak sebagai pemotong pajak (khusus) yaitu bank, WPLN yang menerima penghasilan melalui Kustodian dan transaksi pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar modal Indonesia, selai bunga dan dividen, EPLN yang berbentuk dana pension yang pendiriannya sesuai dengan ketntuan Perundang-undangan di negera mitra P#B Indonesia dan merupakan subjek pajak di negara mitra P3B.
Bentuk form:

3.      Form DGT3
Form DGT3 dipergunakan untuk setiap WPLN yang meminta pengembalian lebih pajak akibat kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut oleh pemotong atau pemungut pajak lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut berdasarkan ketentuan yang berlaku, termasuk P3B, pemotongan atau pemungutan pajak yang lebih bedar daripada yang seharunya berdasarkan ketntuan yang diatur dalam P3B sesuai dengan Kesepakatan Dalam Rangka MAP (Mutal Agreement Procedure).
Contoh Form:

4.      Form DGT4
Form DGT 4 digunakan untuk setiap WPLN yang mengkuasakan permintaan pengembalian perpajakan (Surat Kuasa) dengan memenuhi syarat seperti yang tercantum dalam PER-40/PJ/2010 yang salah satunya adalah mencantumkan pernyataan pemberian kuasa kepada pemotong/pemungut pajak untuk menyampaikan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharnya tidak terutang beserta kelengkapannya ke KPP dan bertindak mewakili WPLN untuk menerima pengembalian tagihan pembayaran pajak yag seharusnya tidak terutang.
Form DGT 4:

5.      Form DGT 5
Form DGT 5 digunakan untuk setiap WPLN sebagai surat keterangan domisili dalam rangka permintaan pengemballian kelebihna pembayaran pajak yang seharsnya tidak terutang, yaitu sebagai endukung permohonan pengembalian kelebihan pembayaran tersebut.
Form DGT 5:

6.      Form DGT 6
Form ini digunakan untuk setiap WPDN berstatus subjek pajak dalan negeri Indonesia dalam rangka pengajuan permohonan Surat keterangan Domisili dimana diajukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak melalui KPP Domisili.
Form DGT 6:

7.      Form DGT 7
Form ini digunakan untuk setiap WPDN berstatus sujek pajak dalam negeri Indonesia sebagai SKD yang diterbitkan atau disahkan oleh Dirjen Pajak melalui KPP Domisili berdasarkan permohonan WP.
Form DGT 7:

Permohonan SKD
Wajib pajak yang dapat memperoleh SKD adalah WP yang memenuhi tiga klasifikasi berikut:
1.      Berstatus pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 3 UU PPh;
2.      Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
3.      Bukan berstatus subjek pajak luar negeri, termasuk bentuk usaha tetap, ebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (4) UU PPh.
Permohonan kemudian diajukan dengan menggunakan formulir DGT-6 sesuai lampiran PER-35/PJ/2010 dan diajukan kepada Dirjen Pajak melalui KPP Domisili. Form DGT-6 ini harus diisi secara benar, jelas dan lengkap. Selain itu, permohonan juga harus memenuhi ketentuan berikut:
1.      Memuat nama negara/jurisdiksi mitra P3B tempat penghasilan bersumber;
2.      Memuat penjelasan mengenai penghasilan dan pajak yang akan dikenakan di negera mitra P3B atas penghasilan dimaksud;
3.      Ditandatangani oleh WP, dan
4.      Dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 UU KUP, dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan WP.
Permohonan Ditolak
Permohonan WP pajak ditolak jika tidak memenuhi ketentuan sebagaimana di uraikan di atas. Permohonan juga dapat ditolak jika WP belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sesuai ketntuan peraturan perundang-undangan meskipun batas penyampaiannya telah terlewati dan WP tidak menyampaikan pemberitahuan perpanjgan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sesuai ketntuan peraturan perundang-undangan.
Penolakan atas permohonan WP harus diberitahukan secara tertulis kepada WP paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan WP diterima.
Masa Berlaku SKD
Masa berlaku SKD yang diterbitkan oleh KPP Domisili adalah 1 (satu) tahun sejak tanggal diterbitkan kecuali bagi WP bank sepanjang WP bank tersebut mempunyai alamat yang sama dengan SKD yang telah diterbitkan.
Pencegahan Penyalahgunaan P3B
Satu lagi peraturan Dirjen Pajak yang diterbitkan tanggal 5 November 2009 yang juga mengatur mengenai P3B, yaitu PER-62/PJ./2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan P3B. Seperti halnya PER-61 yang mengatur tentang Tata Cara Penerapan P3B, PER-62 ini juga mulai berlaku sejak 1 Januari 2010.
Dalam setiap Tax Treaty (P3B) Orang Pribadi atau badan yang dicakup dalam P3B adalah orang Pribadi atau Badan yang merupakan Subyek Pajak Dalam Negeri dan/atau Subyek Pajak dalam negeri dari Negara mitra perjanjian.
PER-61 mengatur bahwa P3B tidak dapat diterapkan dalam hal terjadi penyalahgunaan P3B, meskipun penerima penghasilan telah sesuai dengan ketentuan mengenai SPDN.
A. Definisi Penyalahgunaan P3B
Pengertian penyalahgunaan P3B yang dimaksud dalam PER-61, dapat terjadi apabila :
1)      Transaksi yang tidak mempunyai substansi ekonomi dilakukan dengan menggunakan struktur/skema sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B;
2)      Transaksi dengan struktur/skema yang format hukumnya (legal form) berbeda dengan substansi ekonomisnya(Economic subsctance) sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B; atau
3)      Penerima penghasilan bukan merupakan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan (beneficial owner).
B.  Beneficial Owner
Pengertian Pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan (beneficial owner) yang dimaksud dalam point A.3 tsb di atas adalah penerima penghasilan yang :
1)      Bertindak tidak sebagai Agen
Agen adalah orang pribadi atau badan yang bertindak sebagai perantara dan melakukan tindakan untuk dan atas nama pihak lain
2)      Bertindak tidak sebagai Nominee 
Nominee adalah orang atau badan yang secara hokum memiliki (legal owner) suatu harta dan/atau penghasilan untuk kepentingan atau berdasarkan amanat pihak yang sebenarnya menjadi pemilik harta atau pihak yang sebenarnya menikmati manfaat atas penghasilan.
3)      Bukan perusahaan Conduit
Perusahaan Conduit adalah suatu perusahaan yang memperoleh manfaat dari suatu P3B sehubungan dengan penghasilan yang timbul di Negara lain, sementara manfaat ekonomis dari penghasilan tersebut dimiliki oleh orang-orang di Negara lain yang tidak akan dapat memperoleh hak pemanfaatan P3B apabila penghasilan tersebut diterima langsung.

C.        Pihak-pihak yang tidak dianggap melakukan penyalahgunaan P3B
Orang Pribadi atau badan yang dicakup dalam P3B yang tidak dianggap melakukan penyalahgunaan P3B adalah sbb :
a.       Individu yang bertindak tidak sebagai Agen atau Nominee;
b.      Lembaga yang namanya disebutkan secara tegas dalam P3B atau yang telah disepakati oleh pejabat yang berwenang di Indonesia dan di Negara Mitra P3B;
c.       WPLN yang menerima atau memperoleh penghasilan melalui Kustodian sehubungan dengan penghasilan dari transaksi pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasal modal di Indonesia, selain bunga dan dividen, dalam hal WPLN bertindak tidak sebagai Agen atau sebagai Nominee;
d.      Perusahaan yang sahamnya terdaftar di Pasar Modal dan diperdagangkan secara teratur;
e.        Bank; atau
Perusahaan yang memenuhi persyaratan :
1.     Pendirian perusahaan di Negara mitra P3B atau pengaturan struktur/skema transaksi tidak semata-mata ditujukan untuk pemanfaatan P3B; dan
2.      Kegiatan usaha dikelola oleh manajemen sendiri yang mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan transaksi; dan
3.     Perusahaan mempunyai pegawai; dan
4.     Penghasilan yang bersumber dari Indonesia terutang pajak di Negara penerimanya; dan
5.     Tidak menggunakan lebih dari 50% (lima puluh persen) dari total penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain dalam bentuk seperti: bunga, royalty, atau imbalan lainnya.
D. Konsekuensi Penyalahgunaan P3B
Dalam hal terjadi penyalahgunaan P3B, maka :
1.    Pemotong/Pemungut Pajak tidak diperkenankan untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B dan wajib memotong atau memungut pajak yang terutang sesuai dengan UU PPh;
  1. WPLN yang melakukan penyalahgunaan P3B tidak dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pajak yang seharusnya tidak terutang.
E. Substance Over Form
Dalam hal terdapat perbedaan antara format hukum (legal form) suatu struktur/skema dengan substansi ekonomisnyan (economic substance), maka perlakuan perpajakan diterapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku berdasarkan substansi ekonominya (substance over form)
F. Mutual Agreement
Dalam hal WPLN dikenakan pajak tidak berdasarkan P3B, WPLN tsb dapat meminta pejabat yang berwenang di negaranya untuk melakukan penyelesaian melalui prosedur persetujuan bersama (mutual agreement procedure) sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B
G. Lain-Lain
Dengan berlakunya PER-62 maka peraturan di bawah ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
  1. SE-17/PJ./2005 tanggal 1 Juni 2005 tentang Petunjuk Perlakuan PPh terhadap pasal 11 tentang Bunga Pada P3B Indonesia dengan Belanda;
  2. SE-03/PJ./03/2008 tanggal 22 Agustus 2008 tentang Penentuan Status Beneficial Owner sebagaimana dimaksud dalam P3B Indonesia dengan Negara Mitra
Tabel Tarif PPh Pasal 26
No
Uraian
Tarif x DPP
Dasar Hukum
1
Penghasilan yang dibayarkan kepada WPLN berupa:
1.   Deviden;
2.   Bunga termasuk Premium,Diskonto dan Imbalan jaminan pengembalian hutang;
3.   Royalty;
4.   Sewa;
5.   Penghasilan penggunaan harta
6.   Imbalan sehubungan dengan jasa pekerjaan dan kegiatan;
7.   Hadiah & penghargaan;
8.   Pensiun & pembayaran berkala lainnya;
9.   premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/ atau
10. keuntungan karena pembebasan utang.
20% x penghasilan bruto atau Tax Treaty (P3B)
Penyetoran menggunakan SSP dengan:
KAP: 411127
KJS:
·   Deviden: 101
·   Bunga: 102
·   Royalti: 103
·   Selain Deviden, Bunga, Royalti: 100
·UU PPh Pasal 26 ayat (1)
2 Penjualan atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, yang diperoleh WP Luar Negeri.
Harta yang dimaksud berupa:
perhiasan mewah, berlian, emas, intan, jam tangan mewah, barang antik, lukisan, mobil, motor, kapal pesiar, dan/atau pesawat terbang ringan.
Dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26 adalah:
WP OP Luar Negeri yang memperoleh penghasilan tidak melebihi Rp 10Juta untuk setiap jenis transaksi. (Pasal 3 ayat (2) PMK 82/PMK.03/2009)
20% x Perkiraan Neto.
Perkiraan neto=25% x harga jual
Sehingga tarif efektif:
20% x 25% x harga jual = 5% x harga jual
FINAL
Pemotong Pajak wajib:
·   memberikan bukti potong PPh Pasal 26;
·   menyetorkan PPh Pasal 26 yang terutang dengan menggunakan nama WPLN yang menjual harta paling lama tgl 10 bulan berikutnya setelah bulan transaksi;
·   melaporkan PPh Pasal 26 yang dipotong paling lama tgl 20 bulan berikutnya.
Penyetoran menggunakan SSP dengan:
KAP: 411127
KJS: 100
·   UU PPh Pasal 26 ayat (2)
·   PMK 82/PMK.03/2009 berlaku sejak 22 April 2009
3
Penjualan saham oleh WPLN.
Saham yang diperjualbelikan adalah saham dari PT di Dalam Negeri dan tidak berstatus sebagai emiten atau perusahaan publik. (Pasal 1 KMK 434/KMK.04/1999)
Didalam PMK 258/PMK.03/2008 disebutkan bahwa penjualan/pengalihan saham perusahaan antara (special purpose company atau conduit company), yang didirikan di Tax Haven Country dan mempunyai hubungan istimewa dengan WPDN Indonesia atau BUT di Indonesia, dapat ditetapkan sebagai penjualan/ pengalihan saham WP Badan Dalam Negeri.
20% x perkiraan neto
Perkiraan neto=25% x harga jual
Sehingga tarif efektif:
20% x 25% x harga jual = 5% x harga jual
FINAL
Jika pembeli adalah:
·   WPLN, maka pemotong pajaknya adalah Perseroan (PT Dalam Negeri) yang sahamnya diperjualbelikan.
·   WPDN yang ditunjuk sebagai pemotong, maka pemotong pajaknya adalah WPDN sebagai pembeli. Dan Perseroan hanya mencatat akta pemindahan hak atas saham yang dijual apabila dibuktikan oleh WPLN bahwa PPh Pasal 26 yang terutang telah dibayar lunas dengan bukti pemotongan PPh Pasal 26 dengan menunjukkan aslinya.
Penyetoran menggunakan SSP dengan:
KAP: 411127
KJS: 100
·   UU PPh Pasal 26 ayat (2a)
4 Premi Asuransi dan Premi Reasuransi yang dibayar kepada perusahaan asuransi di LN 20% x perkiraan neto.
Perkiraan neto:
1.   50% dari Premi yang dibayarkan oleh pihak yang tertanggung kepada perusahaan asuransi LN. Sehingga tarif efektif: 20% x 50%= 10%.
Pemotong pajak adalah tertanggung.
2.   10% dari Premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi di Indonesia kepada perusahaan asuransi LN. Sehingga tarif efektif: 20% x 10%= 2%.
Pemotong Pajak adalah perusahaan asuransi di Indonesia.
3.   5% dari Premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi di Indonesia kepada perusahaan asuransi di LN. Sehingga tarif efektif: 20% x 5%= 1%.
Pemotong pajak adalah perusahaan reasuransi di Indonesia.
Penyetoran menggunakan SSP dengan:
KAP: 411127
KJS: 100
·   UU PPh Pasal 26 ayat (2)
5 BUT (Bentuk Usaha Tetap)/ Permanent Establishment
Dikecualikan dari pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4) jika penghasilan BUT ditanamkan kembali di Indonesia dengan syarat:
1.   penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah dikurangi PPh dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri;
2.   Perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia tsb harus aktif melakukan kegiatan usaha sesuai dengan akte pendiriannya, paling lama 1 tahun sejak didirikan;
3.   penanaman kembali dilakukan dalam tahun ajak berjalan atau paling lama tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima/ diperolehnya penghasilan tsb; dan
4.   tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tsb paling singkat dalam jangka waktu 2 tahun sesudah perusahaan baru tsb telah berproduksi komersial.
Atas Laba BUT sebelum pajak:
→dikenakan tarif Pasal 17
Penyetoran seperti WP Badan DN.
Atas Laba BUT setelah pajak yang tidak ditanamkan kembali di Indonesia:
→dikenakan20% x laba setelah pajak
Penyetoran PPh Pasal 26 atas Laba BUT setelah pajak, menggunakan SSP dengan:
KAP: 411127
KJS: 105
·   UU PPh Pasal 26 ayat (4)
·   KMK 113/KMK.03/2002 Jo. PMK 257/PMK.03/2008
Jo.
PMK 14/PMK.03/2011 tentang penanaman kembali Laba BUT.
·   PER 16/PJ/2011 tentang Penanaman Kembali Laba BUT
                                                                             
 Tarif dan Objek PPh Pasal 26
1.      20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri berupa :
a.       dividen;
b.      bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
c.       royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d.      imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e.       hadiah dan penghargaan
f.       pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
g.      Premi swap dan transaksi lindung lainnya; dan/atau
h.      Keuntungan karena pembebasan utang.
2.      20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa :
a.       penghasilan dari penjualan harta di Indonesia;
b.      premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
3.      20% (final) dari perkiraan penghasilan neto atas penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara conduit company atau spesial purpose company yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau BUT di Indonesia;
4.      20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.
5.      Tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara pihak pada persetujuan.


Komentar

  1. Pengasilan WP Luar negeri dari dan di Indonesia dikenakan PPh pasal 26

    BalasHapus
  2. Terima kasih, Semoga bermanfaat bagi yang membutuhkan

    BalasHapus

Posting Komentar

Post Populer

Akuntansi Komparatif : AMERIKA dan ASIA

Soal Akuntansi dan Penyelesaian

Strategi Multibisnis Pendekatan portofolio sejarah